-

Friday, May 30, 2014

Bersyukur Tanpa Syarat

Cinta tanpa syarat. Begitulah harapan para pecinta untuk dapat mencintai sosok yang ia. Harapan itu sebagai bukti bahwa dia benar-benar mencintai sepenuh hati, apa adanya, tanpa syarat barang satu pun.

Jika cinta saja bisa tanpa syarat, sepatutnya, sebagai Muslim kita juga patut menjaga syukur tanpa syarat kepada Sang Pemberi Nikmat.

Allah SWT dalam beberapa ayat  Alquran banyak mengajak para hamba-Nya untuk mudah bersyukur. Bukan karena Dia membutuhkan rasa terimakasih dari manusia.
Bersyukur ialah sebuah kebutuhan ruhani, baik diucapkan melalui lisan dengan ‘Alhamdulillah’, juga berupa perbuatan dengan memberdayakan apa yang kita dapatkan untuk kemaslahatan manusia.

Bersyukur juga sebagai bukti kelemahan bahwa kita sama sekali tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi diri sendiri, terlebih kepada orang lain.

Karena ketidakmampuan itulah, manusia dianjurkan untuk mensyukuri apa yang ia peroleh, baik itu rezeki, kesehatan, ketentraman hidup, kebersamaan bersama orang-orang terkasih, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat nan terhingga yang tak kuasa menyebutkannya.

Itu semua Allah limpahkan kepada manusia karena Allah bersifat Wahhab. Wahhab berarti Maha Memberi segala sesuatu baik yang dipinta ataupun tidak dipinta hamba-Nya.

Imam Ghazali menyebutkan bahwa pemberian Allah bersifat terus-menerus, tiada henti, berkesinambungan, dunia maupun akhirat, kepada siapa pun. Terlepas si hamba mensyukurinya atau tidak, karena memang pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Pemberi tanpa pamrih.

“... jika engkau bersyukur, maka akan Kutambah nikmat-Ku untukmu. Namun, jika kamu kufur (enggan bersyukur), sungguh adzab-Ku amat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Dalam perjalanan hidup, manusia tergolong menjadi dua: golongan syukur dan golongan kufur. Oleh karenanya, tercermin dari surah di atas bahwa janji Allah terlimpah untuk dua golongan manusia, baik yang syukur maupun yang kufur. Jika kita mensyukuri nikmat Allah apa pun bentuknya, seberapa pun banyaknya, maka nikmat itu akan bertambah.

Sebagai manusia biasa, terkadang kita alpa. Kita hanya sibuk mensyukuri pemberian-Nya yang enak dan tampak. Namun, lupa untuk bersyukur saat memeroleh musibah. Saat musibah datang, yang meluncur dalam doa-doa ialah keluhan dan kesedihan hingga penantian kapan musibah itu hilang.

Padahal, dalam terhimpit musibah sekalipun kita dianjurkan untuk tetap bersyukur, sebagai bukti bahwa itu adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah.

Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan, “Wahai malaikat Jibril, datanglah kepada hamba-Ku dan kirimkanlah ia sebuah musibah, karena Aku rindu akan rintihannya.” (HR Muslim).

Hadis ini mengisyaratkan bahwa diuji dengan masalah ialah bukti bahwa Allah merindu rintihan dari para hamba-Nya. Tak inginkah kita dirindu?

Akhirnya, hakikat bersyukur tanpa syarat ialah kita tidak perlu menunggu datangnya nikmat  lantas bersyukur. Tapi, bersyukur sebenarnya ialah senantiasa menjaga ungkapan terima kasih pada Sang Maha Kasih atas segala nikmat yang telah, sedang dan akan kita dapatkan. Wallahu a’lam.
Oleh: Ina Salma Febrianysumber : www.republika.co.id

Monday, May 26, 2014

Bekal Perjalanan

Sewaktu sakit menjelang wafatnya, sahabat Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?”

Lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini”! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam).
   
Sahabat Nabi SAW yang satu ini, Abu Hurairah, memiliki keutamaan tersendiri. Lantaran tidak terlalu sibuk dalam bisnis dan politik, Abu Hurairah merupakan seorang sahabat yang paling banyak belajar dan mendapatkan pengajaran dari Baginda Rasulullah SAW.

Tak heran bila sejarah mencatatkan namanya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Kita semua berhutang budi kepadanya. 
    
Sebagaimana ditunjukkan Abu Hurairah, setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya, memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).

Kitab suci Alqur’an menyebut takwa sebagai sebaik-baik bekal. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).
   
Bekal itu setidak-tidaknya meliputi empat macam. Pertama, transendensi, yang bertolak dari kekuatan iman kepada Allah SWT.
Transendensi menunjuk pada kemampuan manusia menyeberang atau melintasi batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT. Ciri yang mula-mula dari orang takwa adalah transendensi, yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3).
   
Kedua, distansi, yaitu kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu (al-Tajafa fi Dar al-Ghurur). Distansi adalah kunci keselamatan.

Dalam bahasa modern, seperti dikemukakan al-Taftazani, distansi tak mengandung makna menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Di sini, dunia dipahami hanya sebagai alat (infrastruktur), bukan tujuan akhir.
   
Ketiga, kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar percaya kepada Allah, dan percaya pada balasan-Nya.

Firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2: 45-46).
   
Keempat, determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Determinasi tak lain adalah perjuangan itu sendiri.

Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan  membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS. Al-`Ankabut/29: 69).
   
Inilah empat macam bekal yang perlu dipersiapkan sebelum ajal menjempunya. Semua orang berakal mengerti, kalau cukup bekal, perjalanan menjadi enjoy dan menyenangkan. Wallahu a`lam!, Oleh: A Ilyas Ismail


sumber : www.republika.co.id

Thursday, May 22, 2014

Ibadah Sosial

Dikisahkan, para sahabat sedang mengadakan perjalanan bersama Nabi Muhammad SAW. Sebagian mereka berpuasa (sunah), sebagian yang lain tidak. Perjalanan sangat melelahkan karena matahari begitu terik. Mereka lantas  berhenti di satu tempat untuk berteduh.

Sebagian menggunakan kain, sebagian lagi hanya menggunakan tangan mereka. Mereka yang puasa sangat kelelahan. Lalu, sahabat yang tidak puasa bergegas mendirikan bangunan, tempat berteduh, dan memberi minum kepada para musafir.

Nabi SAW mengapresiasi langkah para sahabat yang tidak puasa dan menyatakan mereka bakal mendapat pahala dari Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).

Islam, seperti ditunjukkan Nabi dan para sahabat dalam kisah di atas, mengajarkan kepada kita, dua kesalihan (ibadah),  yaitu kesalihan individual dan kesalihan sosial. Kesalihan individual ditunjukkan dengan ibadah yang bersifat vertikal (habl min Allah).

Kesalihan sosial ditunjukkan dengan ibadah yang bersifat horizontal atau sosial (habl min al-nas), seperti membantu orang lain dan memberikan  donasi kepada mereka yang memerlukan. Kedua ibadah ini mesti ada dalam diri Muslim dan menjadi prasyarat kebahagiaannya.

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj [22]: 77). Ada dua perintah dalam ayat ini.

Pertama, perintah rukuk dan sujud alias shalat yang mewakili ibadah formal. Kedua, perintah berbuat kebajikan yang mewakili ibadah sosial. Menurut Imam al-Razi, shalat itu bagian dari ibadah dan ibadah bagian dari kebajikan.

Jadi, kebajikan itu bersifat umum. Di dalamnya terkandung ibadah formal dan ibadah sosial sekaligus. Inti dari ibadah sosial, menurut Ibn Abbas, seperti dikutip banyak ahli tafsir, adalah silaturahim dan keluhuran budi pekerti.

Keduanya memiliki semangat kemanusiaan dan kemasyarakatan yang tinggi. Silaturahim, seperti diketahui, mendorong kita mampu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan sesama manusia, terlebih  dengan orang-orang yang masih berkerabat.

Sementara akhlak mulia menuntun kita agar bersifat asketis dan humanis, sehingga keberagamaan kita dirasakan manfaatnya oleh orang lain.

Pakar tafsir lain, Ibn `Asyur, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, menambahkan satu lagi ibadah sosial yang diminta ayat di atas, yaitu amar makruf dan nahi munkar. Amar makruf berarti menyuruh manusia pada kebaikan. Nahi munkar, mencegah manusia dari kejahatan.

Dalam pengertian yang lebih luas, amar makruf bermakna membangun sistem Islam yang berlandaskan akidah tauhid. Sedangkan nahi munkar bermakna menjaga dan memelihara agar sistem dan bangunan Islam itu tetap tegak dan kokoh.

Pada kenyataannya, kebanyakan kita hanya mementingkan ibadah formal tetapi kurang memperhatikan ibadah sosial. Padahal, kebaikan ibadah formal, seperti shalat, puasa, haji, zikir dan doa hanya kembali kepada kepentingan diri sendiri.

Kebaikan ibadah sosial kembali pada kemaslahatan umat. Ibadah formal sejatinya merupakan dasar dan landasan bagi lahirnya ibadah sosial. Dengan mempertinggi ibadah sosial, Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a`lam!
Oleh: A Ilyas Ismailsumber : www.republika.co.id

Tuesday, May 20, 2014

Menuju Izzah Islam

‘’Sesungguhnya surga itu ada seratus derajat, jarak di antara setiap dua derajat adalah seumpama langit dan bumi. Dan al-Firdaus adalah derajat paling tinggi, daripadanya terpancar sungai-sungai surga. Apabila kamu meminta kepada Allah maka mintalah daripada-Nya al-Firdaus.’’ (Riawayat al-Hakim)

Betapa pun saat ini kita tinggal di negeri yang belum sempurna, namun merindukan tegaknya izzah Islam wal Muslimin harus terus terjaga dan terpelihara.
Kerinduan ini juga harus dibalut tekad kuat. Karena keinginan kuat modal awal meneruskan langkah-langkah berikutnya.

Dan keinginan itu sebagaimana disebut dalam hadis di atas, haruslah bertempat pada titik tertinggi. Nabi Muhammad SAW sendiri senantiasa menyuruh para sahabat bahkan umat Islam seluruhnya agar mempunyai keinginan yang tinggi dalam semua perkara.

Sebagaimana kalau harus minta maka mintalah kepada sesuatu yang paling tinggi, Surga Firdaus. Kalau terjun di dunia dagang maka berusahalah menjadi seseorang yang dengannya orang berhajat banyak kepadanya.

Jika saat ini sedang belajar, berposeslah terus untuk menjadi pemilik ilmu yang alim, mengamalkan ilmunya, dan lalu menyebarkannya. Kalau politik adalah lahan tekunannya, maka di pucuk pemenuhan kebaikan umat adalah orientasinya.

Jadilah pemimpin di negeri ini yang mengamalkan Islam dan meninggikan kesejahteraan kaum muslimin dan semua yang dipimpinnya.
Nabi SAW tercinta menanam keinginan yang kuat dan harapan yang besar kepada seorang sahabat bernama Uqbah bin Nafi.

Beliau mendoakannya ketika masih kecil agar Allah Azza wa Jalla memilihnya untuk menjadi pembuka dan pembebas yang hebat.
Ia telah menjadikan ‘Uqbah berkeinginan dan berjiwa besar yang membawanya kepada pembukaan dakwah di wilayah utara Afrika.

Begitu juga dengan Muhammad al-Fatih. Sejak Fatih masih kecil, ayahnya menanam keinginan agar suatu hari nanti Kostantinopel  (Istanbul) akan bebas melalui tangannya. Tinta sejarah pun tertoreh, beliaulah yang dijuluki al-Fatih, penakluk Konstantinopel.

Langkah tarbawiyah sang Nabi SAW ini tentu merupakan seruan umum kepada seluruh orang tua, para ustaz, penjaga, pendidik dan pendakwah agar mengambil kaidah yang sama.

Menanam keinginan dan menggalakkan manusia beriman agar mengincar posisi tinggi demi tegakknya ‘Izzah Islam wal Muslimin.
Jika tidak juga hal ini diteruskan maka tentu hanya mimpi kalau kita bisa mengubah dunia. Jadi, tanamkanlah tekad yang kuat untuk merebut supremasi indah li I’laai Kalimatillah.
Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

sumber : www.republika.co.id

Monday, May 19, 2014

Memiliki Kekayaan

Kekayaan bagi sebagian umat Islam dipandang sebagai sesuatu yang kurang penting bahkan buruk. Hal ini wajar jika yang dilihat dalam konteks tersebut adalah sosok Qarun dan Tsa’labah. Mereka memang kufur dan sombong serta menolak menaati perintah Allah Ta’ala.

Tetapi, kalau kita mengacu pada dua sahabat Nabi Muhammad, yakni Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, kekayaan menjadi penting bahkan sangat dibutuhkan. Dua sahabat Nabi itu tercatat paling banyak membantu memenuhi kebutuhan umat Islam di Madinah.

Hanya saja kekayaan yang perlu diraih umat Islam harus ditempuh dengan cara yang benar-benar halal. Selain itu, diniatkan untuk ibadah dan jihad dengan memajukan harkat dan martabat umat. Bukan memperkaya diri, lalu berbagga-banggaan dan bermegah-megahan.

Sebab jika diperhatikan, perintah jihad di jalan Allah dimulai dengan harta baru jiwa. “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Mumtahanah [61]: 10-11).

Artinya, dengan harta atau dengan kekayaan, umat Islam bisa berjihad dan karena itu  mendapat perniagaan yang dapat menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka. Jika umat Islam tidak memiliki harta maka jihad harta tidak bisa dilakukan.

Dengan demikian, harta atau kekayaan itu sangat penting untuk kelangsungan ibadah, bahkan jihad umat Islam itu sendiri. Seperti yang dicontohkan Utsman bin Affan yang menyedekahkan kekayaannya dalam jumlah cukup besar kepada umat Islam.

Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf yang juga seolah berlomba menyedekahkan harta yang dimilikinya.
Bahkan, istri Nabi Muhammad, Sayyidah Khadijah, merelakan seluruh harta kekayaannya digunakan untuk perjuangan dakwah Islam.

Karena itu, umat Islam harus memiliki etos kerja yang bagus dalam mencari karunia-Nya berupa harta kekayaan. Apalagi, dua dari lima rukun Islam, yakni zakat dan haji, hanya bisa dilakukan kalau umat Islam memiliki harta.

Begitu pula dengan bidang keilmuan. Orang bisa sekolah atau belajar mengelola harta. Lebih-lebih dalam gerakan dakwah, mutlak harta sangat diperlukan. Dengan demikian, umat Islam jangan sampai salah paham terhadap konsep kekayaan.

Kaya itu baik selama memang niat kita ibadah dan jihad di jalan-Nya. Bahkan sekiranya umat Islam menguasai peredaran uang dengan niat ibadah dan jihad, tentu bangsa dan negara ini akan menjadi lebih  baik. Seperti Abdurrahman bin Auf yang berhasil menguasai pasar di Madinah.

Hanya saja tetap harus dipahami, yang terbaik di sisi Allah bukanlah orang kaya atau miskin melainkan yang bertakwa (QS al-Hujuraat [49]: 13), kemudian mereka yang terbaik amalannya (QS al-Mulk [67]: 2).

Dengan demikian, milikilah harta atas dasar takwa dan berorientasi pada terwujudnya //ahsanu amala// atau amalan yang baik di dunia yang fana ini.
Oleh: Imam Nawawi


sumber : www.republika.co.id

Friday, May 16, 2014

Istighfar

Diceritakan oleh Imam Al-Quthubi dari Ar-Rabi’ bin Shabih, empat orang pernah datang kepada Hasan Bashri mengadukan masalah yang berbeda-beda.

Orang pertama mengadukan tanahnya yang tandus dan gersang, orang kedua mengadukan rizkinya yang sempit, orang ketiga mengadukan telah lama tidak memiliki anak, dan orang keempat mengadukan tanamannya yang tidak berbuah.

Kepada keempat orang itu, Hasan Bashri hanya berkata singkat, Beristigfarlah! Ibnu Shabih merasa heran. Bertanyalah ia kepada Hasan Bashri, “Wahai Hasan, empat orang mengadukan permasalahan berbeda, kenapa engkau menyuruh semuanya beristigfar?”

Hasan Bashri menjawab, “Apa yang aku katakan kepada mereka bukanlah dariku, tapi dari Allah SWT dalam QS Nuh [71]: 10-12.”
Dalam surah tersebut disebutkan, ’’Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.

Istighfar, memohon ampunan kepada Allah dengan mengucapkan kalimat astaghrifullaah, adalah amalan agung yang menjadi kebiasaan para nabi, ulama, dan orang-orang saleh.

Ketika Nabi Ibrahim mengajak ayahnya meninggalkan penyembahan berhala, beliau berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memintakan ampun (beristighfar) bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS Maryam [19]: 47).

Rasulullah SAW juga selalu membiasakan istighfar. Dalam satu majelis, beliau bisa beristighfar 70 sampai 100 kali. “Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar dan taubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR Bukhari).

Selain mendapatkan ampunan Allah, istighfar mempunyai banyak  manfaat. Pertama, orang yang memperbanyak istighfar terutama di waktu pagi sebelum Subuh, mendapatkan sanjungan Allah dan disediakan baginya surga dengan segala kenikmatannya. (QS Ali Imran [3]: 15-17).

Kedua, istighfar adalah pintu untuk membuka kenikmatan-kenikmatan baik yang disediakan oleh Allah. “Dan hendaklah kamu meminta ampun (beristighfar) kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS Hud [11]: 3).

Ketiga, istighfar bisa menghindarkan kita dari bencana. “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (beristigfar).” (QS Al-Anfal [8]: 33).

Dalam memahami ayat ini, Abu Musa Al-Asy’ari pernah berkata, “Dulu kami mempunyai dua penjaga (dari bencana) di dunia ini. Satunya telah pergi dan tersisa satu lagi. Yang pergi adalah Rasulullah, yang yang masih tersisa adalah istighfar. Jika yang satu ini hilang, maka celakalah kami semua.” Wallau a’lam.Oleh: Jauhar Ridloni Marzuq
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, May 14, 2014

Belajar dari Dua Kuda

Alkisah, seorang pedagang mempunyai dua ekor kuda. Kuda tersebut dimanfaatkan untuk membawa barang dagangan. Seekor kuda membawa garam dan yang lainnya membawa kerang.

Ketika mereka melewati sebuah danau, kuda pembawa garam turun ke danau untuk menghilangkan rasa haus. Ketika sang kuda keluar dari danau, dia terlihat segar bugar.
Kuda pembawa kerang terheran-heran dan bertanya, “Hai teman, apa yang terjadi kepadamu? Mengapa kau terlihat begitu segar bugar?

Kuda pembawa garam berkata, “Ketika aku turun ke danau, awalnya aku tak merasakan apa-apa sampai aku merendam tubuhku di  dalamnya. Saat itu, aku merasa berat garam di punggungku meleleh bersama air danau. Saat keluar, aku merasa begitu ringan dan segar.”

Tanpa berpikir panjang, kuda pembawa kerang pun turun ke danau berharap mendapatkan kesegaran seperti kuda pembawa garam.
Sang kuda merendam tubuhnya dan meminum air danau sepuasnya. Tanpa ia sadari, kerang yang dibawanya terisi air. Saat keluar dari danau, ia tidak merasa segar, justru sebaliknya merasa semakin berat.

Saudaraku, itulah gambaran sebuah kehidupan. Terkadang kita sering mengikuti apa yang dilakukan orang lain tanpa menimbang manfaatnya bagi diri kita. Bukankah Allah SWT telah memberikan petunjuk akal bagi manusia guna membedakan yang haq dan yang batil?

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS at-Tin: 4). Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang sempurna. Allah menyempurnakan manusia dari bentuk dan petunjuk-Nya.

Allah SWT menciptakan manusia dengan bentuk yang indah. Kemudian, Allah SWT menyempurnakannya dengan empat petunjuk, yaitu insting, pancaindra, akal pikiran, dan agama. Lalu, mengapa manusia tidak memanfaatkan keempatnya untuk mencapai kebahagiaan hidup?

Sesuatu yang bermanfaat bagi seseorang belum tentu akan bermanfaat bagi manusia lainnya. Dan orang yang suka mengikuti orang lain tanpa alasan yang jelas, mereka itulah sebodoh-bodohnya manusia.
Oleh: Robiatul Adawiyah
sumber : www.republika.co.id

Monday, May 12, 2014

Memperlakukan Anak Perempuan

Selain sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, anak merupakan karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua, dan sekaligus sebagai perhiasan dunia, serta belahan jiwa (QS al-Kahfi [18]: 46).

Karena itu, perlakukan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang, lebih-lebih bagi anak perempuan. Terkait anak perempuan, secara khusus Rasulullah SAW melarang memperlakukannya dengan kasar.

Dari Uqbah bin Amir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian memperlakukan anak-anak perempuan dengan kasar, karena sesungguhnya mereka adalah manusia yang berpembawaan lembut lagi peka perasaannya.” (HR Ahmad).

Hadis di atas menuntun kita, para orang tua, untuk mendidik anak-anak perempuan dengan baik dan bijak, serta tidak memperlakukannya dengan kasar. Sebab, perlakuan kasar dapat memicu rasa sakit hati dan dendam yang tidak mudah hilang dari ingatannya.

Bagaimana jika anak perempuan itu melakukan perbuatan yang menjengkelkan? Orang tua hendaknya dapat meluruskannya dengan baik dan bijak. Karena perlakuan kasar itu tidak dapat menyelesaikan masalah. Alih-alih meluruskan kesalahan anak, orang tua malah dijauhi.

Oleh karena itu, hindarkan tindakan menuduh, berburuk sangka, dan bermuka masam terhadap anak perempuan. Perlakukan anak perempuan dengan kelembutan dan kasih sayang.

Dan, sungguh beruntung orang tua yang dikaruniai anak perempuan dan ia dapat memperlakukannya dengan baik, bijak, dan penuh kesabaran. Maka, baginya balasan kemuliaan, yaitu surga. Subhanallah.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, lalu bersikap sabar terhadap keluh-kesah, suka-duka, dan jerih-payah mengasuh (mendidik) mereka, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayangnya kepada mereka.

Dalam hadis yang lain, “Barang siapa mempunyai tiga orang anak perempuan atau tiga saudara perempuan, dua orang anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.” (HR Tirmidzi).

Hadis lainnya, “Barang siapa menanggung tiga anak perempuan, lalu mendidiknya, menikahkannya, dan memperlakukannya dengan baik, maka baginya surga.” (HR Abu Dawud).

Semoga Allah mengaruniai kita, para orang tua, tambahan kesabaran dan ketakwaan dalam mendidik anak-anak, terutama anak perempuan dengan penuh cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab. Aamiin.
Oleh: Hj Siti Mahmudah
sumber : www.republika.co.id

Saturday, May 10, 2014

Mukmin Teladan

Setiap mukmin pasti ingin masuk surga. Karena masuk surga tidak gratis, tiket masuknya harus dipersiapkan atau dibeli selama hidup di dunia. Menjadi mukmin teladan, tentu saja merupakan jalan yang mengantarkannya masuk surga.

Mukmin berasal dari kata iman,  mashdar dari aamana-yu’minu yang berarti memercayai, meyakini, membenarkan (dalam hati dan berikrar dengan lisan), dan menjamin atau memberi rasa aman.

Mukmin adalah orang yang memercayai keesaan Allah, meyakini kebenaran ajaran-Nya, dan menjamin adanya rasa aman sekaligus memiliki amanah dalam hidupnya sehingga ia menjadi orang yang tepercaya dan memiliki integritas tinggi.

Sesungguhnya, beriman merupakan fitrah manusia. Kecenderungan bertauhid itu inheren dalam diri manusia sejak dalam kandungan. Sejak ruh ditiupkan, manusia memiliki sifat lahut (ketuhanan), mendekatkan diri kepada Allah.

Manusia juga memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual untuk memohon petunjuk dan jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan membahagiakan.

Mukmin harus beriman kepada Allah SWT karena ia merupakan bagian dari makrokosmos ciptaan Allah. Jalan terbaik yang harus dilalui manusia adalah mengikuti syariat-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya yang tecermin dalam al-Asma’ al-Husna.

Menjadi mukmin teladan merupakan sebuah perjuangan hidup yang harus ditempuh dengan keikhlasan, kesungguhan, dan konsistensi.
Beriman perlu diawali dengan penyerahan diri dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah Rasul-Nya.

Menjadi mukmin teladan harus dibarengi dengan memurnikan dan mendeklarasikan tauhid (la ilaha illa Allah) dalam arti luas, meliputi  pertama, tauhid ibadah (QS ad-Dzariyat: 56); kedua, tauhid kesatuan tujuan hidup (QS al-Baqarah: 201); ketiga, tauhid penciptaan (QS al-Baqarah: 29); keempat, tauhid kemanusiaan (QS al-Baqarah: 30), dan kelima, kesatuan sumber kebenaran dan petunjuk, pedoman hidup (QS al-Baqarah: 147)

Menjadi mukmin teladan juga harus dilanjutkan dengan membebaskan diri dari segala bentuk syirik, termasuk syirik politik, ekonomi, budaya, dan syirik hawa nafsu.

Setelah berakidah tauhid, iman perlu dibuktikan dan ditumbuhkembangkan dengan amal saleh dilandasi ilmu yang memadai. Trilogi iman-ilmu-amal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Menurut Alquran, mukmin teladan adalah hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang. Mereka itu rendah hati, bertutur kata yang baik ketika bertemu dengan orang jahil,  bersujud dan tahajud pada malam hari, berdoa agar dijauhkan dari siksa Jahanam, tidak kikir dan tidak boros, tidak menyembah selain Allah, tidak membunuh jiwa kecuali dengan alasan yang benar, dan sebagainya (QS al-Furqan: 63-77).

Profil mukmin ideal dilukiskan Nabi SAW dengan empat perumpamaan. Pertama, mukmin itu bagaikan lebah; yang dimakan itu pasti baik, jika hinggap pada tanaman berbunga tak merusak atau mematahkan ranting dan dahannya. Kedua, mukmin itu ibarat dua tangan, yang satu mencuci tangan lainnya (saat berwudhu).

Ketiga, mukmin itu ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkokohkan. Keempat, mukmin itu bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggotanya sakit, yang lainnya turut merasakannya.

Karenanya, mukmin teladan harus bisa bersatu padu, kompak, penuh persaudaraan dan kebersamaan, serta berbagi tugas dan fungsi dalam menyelesaikan masalah seperti lebah.

Mukmin teladan dituntut memiliki etos kerja yang ikhlas, cerdas, keras, tuntas, berkualitas, dan memberi rasa puas bagi orang lain dengan disiplin dan produktivitas tinggi.

Dengan demikian, menjadi mukmin teladan tidak bisa instan. Iman yang kita miliki tidak cukup hanya sebatas iman taqlidi, tetapi harus ditindaklanjuti menjadi iman tahqiqi, yaitu iman yang disinergikan dengan ilmu dan amal saleh dan istiqamah.
Oleh: Muhbib Abdul Wahab


sumber : www.republika.co.id

Thursday, May 08, 2014

Amal Saleh Jadi Wasilah

Suatu hari, pada momen evaluasi guru Pondok Modern Darussalam Gontor, sang kiai menasihati dewan guru dengan sangat bijak. Beliau menuturkan sebuah kisah dari hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Umar bin Khattab.

Pada zaman dahulu, ada tiga orang yang bepergian hingga tibalah waktu istirahat dan terpaksa menempati sebuah gua untuk bermalam.

Tiba-tiba, ada sebuah batu besar dari gunung yang jatuh menutup pintu gua. Mereka berkeyakinan tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari gua kecuali Allah SWT. Maka, mereka pun mulai berdoa.
  
Seseorang dari mereka berdoa, Ya Allah saya mempunyai orang tua yang sudah lanjut usia. Setiap sore saya biasa menyediakan minum untuk mereka sebelum untuk siapa pun, baik untuk keluarga ataupun hamba sahaya.

Hingga, pada suatu hari saya pergi jauh mencari pepohonan dan dedaunan untuk makanan ternak. Ketika saya pulang, keduanya telah tertidur, sedangkan saya sudah memerah susu untuk diminum di sore hari."

"Saya enggan membangunkan mereka atau memberikannya untuk keluarga dan hamba sahaya sebelum keduanya. Saya pun tetap menanti keduanya bangun, sementara gelas susu masih di tangan saya sampai menjelang fajar. Anak-anak pun menangis kelaparan menggelayut di kedua kaki saya. Keduanya pun bangun dan meminum susu tersebut. Ya Allah, jika saya mengerjakan yang demikian dengan niat benar-benar mencari ridha-Mu maka geserlah batu besar yang menutup kami ini." Tiba-tiba batu besar itu terbuka sedikit, tetapi mereka belum bisa keluar.

Orang kedua berdoa, Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai sepupu wanita. Aku sangat mencintainya. Bahkan, cintaku lebih besar daripada laki-laki yang saat ini jatuh cinta padanya. Aku sangat menginginkan dirinya. Tapi, ia menolakku. Hingga, pada suatu tahun ia tertimpa musim paceklik. Ia menemuiku untuk meminta bantuan. Lalu, saya memberinya 120 dinar dengan syarat ia mau berduaan denganku. Ia pun terpaksa menerimanya."

"Ketika saya hampir menguasainya, sepupuku berkata. ‘Takutlah kepada Allah, jangan kau ambil mahkotaku kecuali dengan hak nikah.’ Saya pun meninggalkannya, padahal ia sangat saya cintai dan saya tinggalkan emas untuknya. Ya Allah, jika saya mengerjakan yang sedemikian itu adalah dengan niat benar-benar mencari ridha-Mu maka lapangkanlah kesukaran ini." Batu besar tersebut terbuka lagi, tapi mereka belum bisa keluar dari gua.

Kemudian, orang terakhir berdoa, Ya Allah, saya dulu mempunyai beberapa pekerja. Sampai datang waktu pemberian upah, saya berikan semua upah mereka kecuali satu orang yang belum datang. Kemudian, upah tersebut saya kembangkan dengan membelikan binatang ternak. Hingga, suatu hari ia datang mengambil upahnya. Ia segera mengambil semuanya tanpa menyisakan sedikitpun untukku. Ya Allah, jika saya mengerjakan yang sedemikian itu adalah dengan niat benar-benar mencari ridha-Mu maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami hadapi ini." Kemudian, dengan izin Allah batu besar tersebut terbuka lebar hingga mereka bisa keluar dari gua.
  
Subhanallah, Mahabesar Allah yang selalu menepati janji-Nya. Dia tidak akan melalaikan sedikit pun amal perbuatan manusia, baik amal perbuatan baik ataupun buruk.

Maka, barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan, barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat balasannya. (az-Zalzalah : 7-8).

Maka, Saudara seiman dan seperjuangan, janganlah pernah kita berputus asa dari nikmat Allah. Karena, sesungguhnya hanya orang-orang musyriklah yang akan terputus nikmatnya. Marilah kita terus berbuat demi kemaslahatan umat.
Oleh: Robiatul Adawiyah
sumber : www.republika.co.id