-

Sunday, March 30, 2014

Sahabat Alquran

Keberadaan mushaf Alquran sangat vital bagi seorang Muslim. Mushaf itu bisa menjadi perisai dan wirid hariannya. Apalagi hari ini mushaf dengan berbagai bentuk cetakannya sangat mudah ditemui. Dari ukuran besar sampai ukuran saku.

Jadi, tidak ada alasan lagi untuk tidak memilikinya. Sehingga ke mana pun seorang Muslim pergi, mushaf Alquran seharusnya selalu ada  dalam koper, tas, bahkan dalam sakunya. Secara terus-menerus berdekatan dengan Alquran membuat Muslim selalu ingat Allah SWT.

Selain itu, mushaf Alquran itu bisa membantunya mengisi waktu-waktu senggangnya untuk membaca, menghafal, dan mentadabburinya. Sangatlah indah melihat seseorang yang asyik membuka mushaf Alquran ketika tangannya yang satu bergelantungan di dalam bis.

Sangatlah menenteramkan mendapati seseorang menunggu kendaraan sambil mulutnya komat-kamit membaca Alquran. Lebih manis lagi, bila seorang sopir taksi atau angkot memutar murotal Alquran untuk diperdengarkan kepada penumpangnya.

Berinteraksi dengan Alquran dalam perjalanan merupakan sunah Nabi Muhammad SAW yang agung. Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Abdullah bin Mugaffal menyatakan pada Fathu Makkah, dia melihat Rasulullah membaca surat Al-Fath di atas kendaraannya.

Dalam riwayat lain dikatakan, “Sementara kendaraannya berjalan. Siapa yang ingin sukses di dunia dan mendapatkan keberuntungan di akhirat, sebisa mungkin dia harus membaca firman Tuhannya.''
Ibnu Hibban dan lain-lain meriwayatkan, Rasul bersabda,’’Dikatakan kepada sahabat Alquran, pada hari kiamat (dalam riwayat Ibnu Majah: ketika dia masuk surga) ‘Bacalah dan naiklah. Bacalah sebagaimana kamu membacanya di dunia karena tempatmu ada pada ayat terakhir yang dahulu kamu baca.”

Dalam riwayat Hakim disebutkan, Rasulullah bersabda, “Sahabat Alquran datang pada hari kiamat, lalu Alquran berkata ’Ya Tuhanku, berilah dia perhiasan. Lalu dia diberi mahkota kemuliaan. Kemudian Alquran berkata, ‘Ya Tuhanku, ridhailah dia. Lalu dia pun diridhai. Dan dikatakan kepadanya, ‘Bacalah dan naiklah.’ Dan dia akan bertambah satu kebaikan untuk tiap-tiap ayat.’’

Sahabat Alquran adalah orang yang senantiasa membaca dan mengamalkan isi kitab suci itu. Dalam sebuah atsar dikatakan, jumlah tingkatan di dalam surga sesuai jumlah ayat Alquran yaitu sekitar 6.000 lebih.

Jarak antara satu tingkat dengan tingkat lainnya setara dengan jarak antara langit dan bumi atau setara dengan jarak tempuh selama 70 tahun atau 500 tahun.

Perbedaan antara 70 tahun dan 500 tahun itu bisa dikompromikan yaitu bila yang pertama dilakukan dengan perjalanan cepat, sedang yang kedua dilakukan dengan perjalanan lambat.

Siapa saja yang bisa mengamalkan Alquran itu secara keseluruhan dan mengamalkannnya, dia akan menempati tingkatan tertinggi di surga. Sedangkan orang yang membaca satu juz  Alquran maka kenaikan tingkatannya sesuai dengan kadar itu.

Mengingat mushaf Alquran itu sangat mudah didapatkan, alasan untuk tidak berinteraksi dengannnya tertolak. Dengan mushaf itu, siapapun bisa mencapai derajat tertinggi di surga. Asalkan,  dia mau mengisi waktu luangnya dengan taqarrub kepada Allah.
, Oleh: Muhammad Shobri Azhari

sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 29, 2014

Indahnya Kelembutan

Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan dan mencintai kelembutan. Akan tetapi, karena ego, hawa nafsu atau kepentingan sesaat, banyak manusia yang kemudian berubah menjadi orang yang kasar, beringas, dan kejam.

Padahal, ego, hawa nafsu, dan mengutamakan kepentingan sesaat sama sekali tidak memberikan maslahat.
Jadi wajar jika manusia yang kasar, beringas, dan kejam tidak akan mendapat ridha dari Allah SWT sebab Allah tidak mencintai kecuali kelembutan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Syarah Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi mengatakan, hadis itu menjelaskan tentang perintah agar umat Islam bersikap lemah lembut. Baik dalam ucapan maupun perbuatan serta memilih hal paling mudah.

Hal demikian melahirkan hubungan harmonis dan akrab. Sangat penting bagi Muslim untuk melatih lidahnya dengan adab sopan santun dan tidak membiasakan diri mencela orang lain, entah itu terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap saudara seiman.

Karena itu, Rasulullah SAW mengingkari jawaban berlebihan Aisyah kepada Yahudi, meskipun mereka memang berhak mendapat celaan.
Hal itu tidak lain karena Allah SWT telah melaknat dan memurkai Yahudi melalui beberapa ayat Alquran secara gamblang dan terbuka.

Bahkan terhadap seorang penguasa zalim sekelas Fir’aun pun Allah memerintahkan Nabi Musa berkata lemah lembut. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.’’ (QS 20 : 44).

Dengan demikian sungguh tidak ada satu pun alasan yang membolehkan kita mencela orang lain, seburuk apa pun orang tersebut.
Sebab, jika dia memang buruk, kafir, dan menentang Islam, Allah pasti memasukkannya pada kelompok terkutuk dan terlaknat.

Akan jauh lebih indah jika kita berusaha fokus membina diri menjadi pribadi yang santun dan lemah lembut. “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan tidak pula Dia berikan kepada yang lainnya.’’ (HR Muslim).

Memaknai hadis tersebut,  Imam Nawawi menjelaskan, kelembutan adalah seutama-utamanya akhlak dari seluruh akhlak mulia lainnya. Dengan kelemahlembutan itulah Rasulullah SAW bisa sukses besar dalam menjalankan misi dakwahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS. 3: 159).

Subhanallah, ternyata lemah lembut adalah rahmat dari Allah. Jika demikian, tidakkah kita tertarik menjadi Muslim yang berperangai lemah lembut?
, Oleh Imam Nawawi
sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 27, 2014

Menuju Surga

Gambaran tentang surga tersebar dalam sejumlah ayat dan hadis. Teks ayat dan hadisnya jelas. Jadi, tak ada satu keteranganpun yang meragukan keberadaannya. Semuanya menjelaskan kondisi yang tidak ada bandingannya dengan sesuatupun yang ada di dunia ini.

Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ’’Allah SWT berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menyediakan untuk hamba-Ku yang saleh segala apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pernah terbetik oleh hati siapapun.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan begitu, saat Allah dan Rasul-Nya menyampaikan perumpamaan tentang kondisi surga, semua itu sekadar untuk memudahkan kita memahaminya. Memang, Allah dan Rasul-Nya menyebutkan banyak hal yang bernuansa dunia.

Namun demikian, semuanya itu sejatinya tidaklah sama. Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat sungai-sungai. Akan tetapi, bukan sungai-sungai sebagaimana yang kita pernah saksikan di dunia.

Dikatakan, ada sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan seterusnya (QS Muhammad [47] : 15).

Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat naungan dari pohon-pohon rindang. Akan tetapi, bukan pohon-pohon yang kita pernah saksikan di dunia. Dikatakan, pohon itu tidak terlalu tinggi dan berbuah sepanjang tahun.

Hal itu memudahkan bagi siapa pun yang hendak memetiknya. Dikatakan pula, fasilitas penghuni surga yang sangat memadai dibandingkan dengan yang kita pernah saksikan di dunia seperti pakaian, makanan, minuman, kamar tidur, dan seterusnya.

Abu Hurairah menuturkan, saat Rasulullah SAW ditanya tentang surga, Rasulullah SAW menjelaskan, surga itu terbuat dari emas, perak, permata lu’lu, yakut, minyak kesturi, dan ja’faran. Kualitasnya sama sekali tidak berubah. (HR Ahmad dan Tirimidzi).

Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 tingkatan yang Allah sediakan bagi mereka yang berjihad. Jarak antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya seperti jarak antara langit dan bumi.’’ (HR Bukhari).

Abu Sai’d al-Khudri berkata,  Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 tingkatan. Seandainya seluruh makhluk di muka bumi berkumpul di salah satu tingkatan, itu sudah cukup menampung mereka semuanya karena luasnya.’’  (HR Ahmad).

Hingga sekarang, entah berapa banyak penulis yang mengungkapkan keistimewaan surga dalam berbagai bahasa. Kendati demikian, saya kira cerita mengenai surga itu tidak akan ada habis-habisnya. Sampai kita benar-benar menyaksikannya dengan mata kepala kita sendiri.

Bagi kita, semua informasi yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya sudah lebih dari cukup. Sekarang mari kita jawab pertanyaan berikut ini dengan sejujurnya. Sudahkah kita termasuk di antara orang-orang yang berada dalam antrean calon penghuni surga?

Sejumlah ayat dan hadis menjelaskan kriteria calon penghuni surga. Yakni, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya pada waktu lapang mau pun sempit, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia.

Selanjutnya, orang-orang yang melakukan perbuatan keji dan menganiaya dirinya sendiri namun segera mengingat Allah dan meminta pengampunan kepada-Nya, tidak terus-menerus melakukan perbuatan dosa setelah dia menyadarinya.

Beriman kepada Allah, shalat dengan khusyuk, menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan tak ada gunanya, mengeluarkan zakat, menjaga kemaluan kecuali kepada istri dan hamba sahaya yang menjadi miliknya, menunaikan amanat, memelihara shalat dan masih banyak yang lainnya. Semoga kita diberi kemudahan untuk dapat menapaki jalan lurus menuju surga. Amin.
, Oleh: Mahmud Yunus
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, March 26, 2014

Menggapai Ridha Allah

Ketika belajar di TK dan madrasah dahulu, kita pernah diajari oleh guru kita sebuah bacaan “Radhiitu billahi rabba, wabil Islami dina, wabi Muhammadin nabiyya wa rasula.” Artinya:   “Aku rela (senang) Allah sebagai Rabb (Tuhanku), Islam agamaku dan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Utusan-Nya.”

Selain itu, kita juga sering berdoa: “Allhumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa a’udzu bika min sakhathika wan nar.” Artinya: Ya Allah aku (kami) memohon kepada-Mu akan ridha-Mu dan surga; dan aku (kami) berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka.

Dalam konteks ini kita patut bertanya kepada diri sendiri: “ Apakah selama ini kita sudah ridha terhadap Allah, Islam dan Nabi Muhammad SAW? Dan mengapa kita perlu memohon ridha Allah?”

Ridha merupakan bentuk mashdar (infinitive), dari radhiya-yardha yang berarti: rela, menerima dengan senang hati, cinta, merasa cukup (qana’ah), berhati lapang.

Bentuk lain dari ridha adalah mardhat dan ridhwan (yang super ridha). Antonim kata ridha adalah shukht atau sakhat, yang berarti murka, benci, marah, tidak senang, dan tidak menerima. 

Ridha adalah engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah senang atau ridha, dan Allah meridhai apa yang engkau perbuat. Ridha hamba kepada Allah berarti ia menerima dan tidak membenci apa yang menjadi ketetapan Allah.

Sedangkan ridha Allah kepada hamba berarti Dia melihat dan menyukai hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Ada dua dimensi ridha, yaitu ridha billah dan ridha ‘anillah. Ridha billah atau rela dan cinta kepada Allah berarti bersedia mengimani dan menjadikan-Nya sebagai Dzat yang wajib diibadahi, tidak menyekutukan-Nya, dimintai pertolongan, dan ditaati syariat-Nya.

Sedangkan ridha ‘anillah berarti hamba menerima ketentuan, takdir, rizki, dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh-Nya.
Ridha dalam konteks ini tidak berarti hamba menyerah-pasrah tanpa usaha, berdoa dan bertawakkal. Sebaliknya, hamba diharuskan memahami hukum sebab-akibat, berusaha maksimal dan berdoa.

Ridha kepada Allah mengharuskan hamba untuk selalu beriman kepada-Nya, termasuk percaya kepada qadha dan qadar-Nya; mencintai dan menaati syariat-Nya; mencintai Rasul-Nya dan mengikuti keteladananya; menjadikan Islam sebagai agama pilihan hidupnya; dan mengorientasikan hidupnya dengan penuh keikhlasan untuk meraih cinta dan ridha-Nya.

Oleh karena itu, ada tiga kategori ridha yang harus ditapaki hamba. Pertama, ridha bi syar’illah (syariat Allah) berarti menerima dan menjalankan syariat-Nya dengan ikhlas dan penuh dedikasi.

Kedua, ridha bi qadha’illah (ketentuan Allah) berati tidak menolak dan membenci apa yang telah ditetapkan Allah, termasuk segala sesuatu yang tidak menyenangkan (musibah), karena ujian dari Allah merupakan tangga peningkatan derajat iman.

Ketiga, ridha bi rizqillah (rezeki Allah)  berarti menerima dan merasa cukup (qana’ah) terhadap rezeki yang dianugerahkan kepadanya, tidak rakus dan tidak serakah,  meskipun sedikit dan belum mencukupi kebutuhannya.

Dengan demikian, menggapai ridha Allah itu merupakan keharusan bagi setiap Muslim, karena Allah menjadikan ridha itu sebagai syiar kehidupan akhirat. 

Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang (ridha) karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi.. (QS. al-Ghasyiyah/88: 8-10). Allah selalu memanggil hamba-Nya yang berhati ridha. “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr/89: 27-28)

Selain itu, Allah menjadikan ridha itu sebagai salah satu syarat terwujudnya rukun iman. Seseorang tidak disebut beriman manakala tidak ridha terhadap segala ketentuan Allah.
Ridha juga dapat mengantarkan Mukmin menjadi mukhlis, tulus ikhlas karena Allah sehingga amalan-amalannya dapat diterima oleh-Nya.

Ridha juga dapat menjadi obat hati yang dapat menangkal segala penyakit hati, sekaligus dapat membuat hati lapang dan merasa qana’ah terhadap segala pemberian Allah.

Ridha merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hidup Muslim menjadi tenang, damai, tenteram, tidak diliputi keresahan dan kegalauan. Ridha merupakan salah satu jalan yang mengantarkan kepada pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah.

Dengan ridha, hamba dapat menghiasi dirinya dengan akhlak mulia, menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan sia-sia, karena standar ridha kepada Allah itu menuntut hamba untuk selalu taat dan bertaqwa kepada-Nya.

Menggapai ridha Allah senantiasa dilakukan dengan memperoleh ridha kedua orang tua dalam segala hal. Rasulullah Saw bersabda: “Ridha Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tua; dan kemurkaan Allah itu juga tergantung pada kemurkaan keduanya.” (HR. Muslim)

Untuk lebih memantapkan usaha kita dalam menggapai ridha-Nya, ada baiknya kita selalu berdoa: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.“ (QS. an-Naml/27: 19)
, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
sumber : www.republika.co.id

Monday, March 24, 2014

Kontes Ayam Ketawa Tingkat Nasional


BARAKATAK Baraya Ayam Ketawa Tatar Sunda yang didukung Harian Umum Galamedia, akan menyelenggarakan kontes Ayam Ketawa Tingkat Nasional bertempat di Balai Kotamadya Bandung, Minggu (23/3). Pada perhelatan bertajuk "Bandung Lautan Ketawa" tersebut, akan mem­perebutkan hadiah uang tabanas dan trofi cantik dari Gubernur Jabar dan Wali Kota Bandung.
"Misi dalam lomba ini untuk melestarikan ayam ketawa sebagai plasma nutfah asli Indonesia, yang mana di Bandung komunitasnya cukup banyak," kata ketua pelaksana gelaran, Harry Aprijati ketika beraudensi dengan Direktur PT Galamedia Bandung Perkasa (GBP), H. Hilaman Djayadirdja, beberapa hari lalu.

Harry menuturkan, lomba ini dalam rangka menyukseskan HUT Bandung Lautan Api. Menurutnya, komunitas Pecinta dan Pelestari Ayam Ketawa Bandung (PPAKB) bermaksud untuk ikut serta memeriahkan acara tersebut dengan mengadakan kontes ayam ketawa. "Diharapkan, acara ini juga bisa turut membantu dalam meningkat­kan potensi pariwisata Bandung dan Jawa Barat," harapnya.

Menurutnya, dalam lomba yang bakal dikemasnya itu akan diikuti oleh penghobi ayam ketawa dari seluruh Indonesia. "Dengan banyaknya penghobi dari luar kota, otomatis akan meningkatankan kunjungan wisatawan dari luar Bandung," ujarnya.

Berangkat dari kecintaan dan keinginan melestaraikan ayam ketawa di Tatar Sunda, Harry Apjati merasa optimistis perehelatan yang akan diselenggarakannya itu akan banyak mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan.

Pada kesempatan itu, Harry juga sempat sedikit menceritakan tentang ayam ketawa. Menurutnya, ayam ini termasuk jenis ayam hias karena selain sosok tubuhnya yang gagah dengan bulu berwarna indah, bunyi kokoknya juga memiliki ciri khas tersendiri seperti orang sedang tertawa. "Karena itulah, unggas jenis ini dinamakan ayam ketawa," katanya.

Diceritakan pula, awalnya ayam ketawa hanya berkembang di lingkungan Keraton Bugis dan hanya boleh dipelihara oleh para raja. Sebagian orang meyakini, ayam ketawa memiliki kekutan mistis sesuai jenis warna dan coraknya. Tapi seiring perkambangan waktu, ayam ketawa kini sudah tersebar di seluruh Indonesia dan komunitasnya cukup banyak.

"Saat ini jumlah penggemarnya terus berkembang pesat. Karena itulah, kami berharap dalam kontes perdana setingkat nasional ini akan berlangsung semarak," tuturnya.
sumber klik-galamedia.com

Thursday, March 20, 2014

Keberkahan

Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.'' (QS.7:96)

Dalam rangkaian ayat-ayat A-Qur’an al-Karim, kita temukan kata barokah dalam berbagai derivasinya. Misalnya, Al-Quran diturunkan pada malam yang diberkahi (QS.6:92,21:50,38:29), Baitullah adalah Rumah yang diberkahi (3:96), ada pula tempat-tempat yang diberkahi (17:1,28:30,34:18).

Berkah berasal dari kata barokah (jamak: barokaat) yang menurut Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah bermakna sesuatu yang mantap, kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung.

Keberkahan Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur.

Segala penambahan yang tidak terukur oleh indra dinamai barokah/berkah. Adanya berkah pada sesuatu berarti adanya kebajikan yang menyertai sesuatu itu. 

Keberkahan akan datang jika diundang melalui tiga jalan yakni, Pertama, keimanan kepada Allah SWT. Beriman seringkali disertai takwa yang menunjukkan kesatuan yang tak bisa terpisahkan (QS.7:96).

Jika iman adalah keyakinan dalam kalbu, takwa adalah refleksi dari iman yang tampak pada sikap, kata dan perbuatan yakni kepatuhan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.

Almarhum Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan keimanan dan takwa kepada Allah membukakan pintu rezki. Sebab kalau orang telah beriman dan bertakwa, fikirannya sendiri terbuka, ilham pun datang.

Sebab iman dan takwa itu menimbulkan silaturrahim sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerjasama yang baik sebagai khalifah Allah di muka bumi. Maka turunlah berkat dari langit dan bumi.

Baik berkat hakiki yakni hujan membawa kesuburan bumi, teraturlah tumbuhan dan keluarlah hasil bumi, maupun berkat maknawi yakni timbulnya fikiran-fikiran baru dan petunjuk dari Allah, baik wahyu kepada para Rasul maupun ilham kepada orang-orang yang berjuang dengan ikhlas.

Kedua, mencintai ulama. Satu demi satu ulama terkemuka meninggalkan kita. Mautul ‘alim mautul ‘alam (kematian ulama laksana kematian alam semesta). Begitulah kata hikmah menggambarkan besarnya peran dan kedudukan ulama di muka bumi. 

Mereka yang menuntun umat ke jalan kebenaran dan kebaikan dengan ilmu dan keteladanan. Jika ulama tidak lagi didengar dan dimuliakan, maka hilanglah keberkahan.
Kini, umat Islam pun hidup dalam ironi. Karena, sudah lebih senang mendengar ceramah ustaz seleberitis yang tampil di layar TV dan dibalut asesoris serban dan jubah layaknya artis.

Bangga jika bisa mengundang mereka dengan honor yang pantastis, meski harus berjejer di pinggir jalan minta sedekah. Dakwah sudah menjadi tontonan dan hiburan bukan lagi tuntunan.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad, mengutip pesan Nabi SAW. : “Akan datang suatu masa kepada umatku, mereka lari dari (ajaran) para ulama dan fuqaha. Maka Allah akan menurunkan tiga bala (malapetaka) kepada mereka yaitu, Pertama, Allah akan menghilangkan berkah dari usahanya, kedua, Allah menjadikan raja yang zhalim buat mereka, Ketiga, Allah akan mengeluarkan mereka dari dunia (mati) tanpa iman.”

Ketiga, transaksi yang Jujur. Keberkahan bersumber dari rezki yang diperoleh melalui jalan yang halal (benar dan baik). Banyaknya perolehan harta dan tingginya kedudukan tidak menjadi ukuran.

Rezki berkah akan melahirkan keluarga yang berkualitas, tenang, rukun dan saling menyayangi. Anak dan istri atau suami taat beribadah dan berakhlak karimah. Senang berbagi nikmat kepada orang lain yang membutuhkan. 

Nabi SAW. mengingatkan : “Dua orang yang saling berjual beli memiliki khiyar (hak memilih) selama mereka sebelum berpisah. Apabila mereka jujur dan memberikan penjelasan (terus terang dalam muamalah mereka), mereka akan diberi berkah dalam jual beli mereka. Dan apabila mereka menyembunyikan kekurangan dan berdusta, maka berkah akan terhapus dari jual beli mereka." (HR. Abu Daud).

Jual beli merupakan refresentasi dari semua transaksi ekonomi dan bisnis, baik dalam skala kecil maupun besar, pribadi maupun perusahaan bahkan antara pemerintahan.
Kejujuran akan mendatangkan keberkahan. Kecurangan merupakan bukti keserakahan yang akan melenyapkan keberkahan. 

Iman dan takwa sebagai pondasi. Kecintaan kepada ulama sebagai lampu yang menyinari. Transaksi bisnis (pekerjaan) dibingkai akhlak terpuji. Insya Allah hidup kita pun diberkahi. Namun, jika ketiganya dilangkahi, pastilah bencana terjadi di sana sini.

Hujan yang turun bukan lagi menentramkan hati, tetapi menenggelamkan segala yang dicintai. Panas terik bukan lagi menghangatkan bumi, tetapi mematikan tanaman para petani. Para pemimpin bukan lagi mengayomi, tetapi justru menzhalimi.  Naudzubillahi mindzalik. Allahu a’lam bish-shawab.

Ketua Yayasan Dinamika Umat/Dosen Unida Bogor
Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA

sumber : www.republika.co.id

Monday, March 17, 2014

Memelopori Keteladanan

Pernah suatu ketika,  Gubernur Azerbaijan Utbah bin Farqad mengirimkan hadiah manisan untuk Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Manisan ini dibawa oleh utusan Gubernur. Setelah dicicipi, Umar menyatakan rasanya enak.

Lalu, ia bertanya,’’Apakah semua rakyatmu di sana menikmati makanan yang sama seperti ini?'' Utusan itu menjawab, “Tidak. Itu adalah makanan orang-orang tertentu.” Mendengar hal tersebut, Umar pun langsung menutup kembali wadah makanan itu.

Umar memerintahkan utusan tersebut untuk kembali ke Azerbaijan dan menegaskan, ’’Kirimkan salamku kepada Utbah, katakan kepadanya, takutlah kepada Allah, kenyangkanlah rakyatmu dengan makanan yang membuatmu kenyang.

Demikianlah cuplikan ketegasan dan kepekaan Umar saat mengemban amanat sebagai pemimpin kaum Muslimin. Betapa responsif dirinya melihat sesuatu yang tidak pantas di matanya. Padahal bagi kebanyakan orang, hal itu sangat biasa atau lumrah adanya.

Rasa empati menantu Rasulullah itu luar biasa. Sesungguhnya Umar telah menyisakan warisan keteladanan yang sangat berharga bagi siapapun yang didaulat sebagai pemimpin.

Sebagai pimpinan tertinggi, ia bersama para gubernurnya berhasil memelopori kesalihan struktural dan fungsional dalam masyarakat. Tidak ada yang memungkiri, masa lalu Umar sebelum memperoleh hidayah sangat kelam.

Namun setelah memeluk Islam, ia berubah total. Mulai saat itu, Umar selalu mendukung perjuangan Rasulullah Semua itu demi menebus kejahiliyahan pada masa lalu. Begitu pula setelah menjadi Amirul Mukminin, semakin besar pula takwanya kepada Sang Pencipta.

Umar menetapkan aturan ketat bagi para gubernurnya. Mereka harus hidup sederhana, jauh dari kemewahan. Iman dan akhlak harus jadi penopang kepemimpinan. Bukan sekadar sensasi atau basa-basi namun dalam bentuk aksi nyata.

Apa yang dicontohkan Umar ribuan tahun lalu itu, hari ini seperti perkara tabu di kalangan pemangku jabatan di negeri kita. Para pejabat dan pemimpin kita seolah hidup untuk diri, keluarganya, atau golongannya saja.

Mereka tidak peduli, rakyat bawah sudah makan enak atau tidak. Sudah tidur nyenyak atau tidak. Betapa pekanya hati Khalifah Umar itu sehingga ia menahan diri meski pada makanan yang halal. Apalagi untuk sesuatu yang haram.

Banyak pejabat hari ini tidak kenal dengan perkara halal, haram, apalagi syubhat. Semua fasilitas dan kemewahan hidup mereka anggap sebagai anugerah yang harus dinikmati. Namun yakinilah, kisah keteladanan Umar  di atas bukan mustahil nyata kembali.

Keteladanan itu memang harus dipelopori terutama oleh para atasan. Inilah cara yang paling efektif untuk mengubah keadaan rakyat menjadi lebih baik.

Manusia tergantung kebiasaan pemimpinnya. Tidak bisa dengan pencitraan, sensasi, apalagi berpura-pura. Keteladaan itu harus ikhlas, apa adanya, dan lahir dari hati terdalam.
, Oleh: Habib Ziadi


sumber : www.republika.co.id

Friday, March 14, 2014

Ibadah dan Sedekah

Mbah Kasia, begitu kami biasa menyapa. Nenek berusia senja itu hidup sederhana dan sakit-sakitan. Ia tinggal serumah bersama putra dan suaminya, Mbah Molatip, yang renta dan sakit-sakitan pula.

Tidak banyak yang dapat dilakukan, selain bergantung hidup kepada putra semata wayang mereka yang bekerja sebagai kuli serabutan. Jangankan bekerja, bahkan hidup saja bertopang obat.

Selain faktor usia, pasangan kakek-nenek itu memang mengidap berbagai penyakit dalam selama bertahun-tahun. Namun demikian, semangat ibadah mereka luar biasa. Mereka tidak absen shalat jamaah lima waktu di masjid.

Bahkan, ketika Subuh, saya sering mendapati mereka sudah di masjid sejak pukul 03.00 WIB. Ada yang lebih membuat saya merasa malu. Mereka hidup pas-pasan bahkan kekurangan, tetapi kedermawanan menjadi gaya hidup sehari-hari.

Mbah Kasia sering mengantarkan makanan ke rumah. Padahal, makanan itu pemberian dari orang untuk mereka. Kalau saya mempunyai sedikit rezeki dan berbagi dengan mereka, ucapan terima kasih tidak henti-henti disampaikan.

Besok atau lusanya, biasanya mereka membalas dengan memberikan apa saja yang mereka punya untuk anak saya. Subhanallah. Keterbatasan hidup ternyata tidak menghalangi mereka berbuat baik kepada sesama.

Merekalah teladan hidup, hamba-hamba Allah yang tidak fasih mengucapkan dalil agama, tetapi sangat terampil mempraktikkan ajaran agama. Kita yang lebih paham agama dan hidup jauh dari kekurangan, cobalah menengok mereka.

Mereka miskin dan lemah di mata manusia, tetapi kaya dan kuat di mata Allah. Saya berpikir, itulah barangkali yang memunculkan banyak keajaiban terhadap mereka. Misalnya, beberapa tahun lalu, Mbah Kasia divonis dokter hanya bisa bertahan hidup selama enam bulan ke depan.

Itu karena komplikasi jantung akut yang dideritanya. Berbagai pengobatan sudah dijalani. Hanya, ia tidak mampu membayar ongkos operasi sehingga harus pasrah pada nasib. Mbah Kasia akhirnya mengalami kondisi bagai mayat hidup.

Perut membuncit, napas tersengal, dan bicara dengan isyarat. Betapa hebat ujian hidup yang ia alami. Bagi kami mati lebih baik daripada hidup semacam itu. Tetapi, kuasa Allah sungguh mengungguli nalar manusia.

Faktanya, kondisi Mbah Kasia berangsur pulih. Hingga kini, ia masih berkesempatan menghirup udara dunia. Tentang suaminya, Mbah Molatip, lebih mengherankan lagi. Malam itu pukul 21.00 WIB. Kakek berusia kepala delapan ini mendadak sekarat akibat muntah darah.

Darah segar mengalir deras dari hidung dan mulutnya. Akhirnya, ia tidak lagi bergerak dan tidak bernapas selama beberapa menit. Terang saja tangis keluarga pecah. Kami semua yang menunggu mengiranya sudah meninggal.

Mbah Molatip lalu ditidurkan telentang, disedekapkan layaknya orang meninggal. Ya Allah, betapa cepat Engkau mengambil hamba-Mu. Maghrib tadi masih shalat jamaah di masjid, tetapi sekarang telah menghadap-Mu dengan kondisi demikian menyedihkan.

Keluarga lantas meminta saya untuk mengumumkan berita kematiannya di masjid. Saya bergegas menuju masjid. Baru sekian langkah keluar, saya mendengar gemuruh dari dalam rumah. Seseorang berlari mengejar sambil memanggil-manggil nama saya.

 “Jangan diumumkan dulu”, katanya. Saya menghentikan langkah dan kembali masuk rumah. Ajaib, kakek yang sehari-hari berjalan dengan bantuan tongkat itu mendadak bergerak-gerak.

Besoknya, Mbah Molatip sudah kembali shalat jamaah Subuh di masjid seperti biasa. Kabar duka baru muncul beberapa waktu lalu. Mbah Molatip telah meninggalkan kita semua.
, Oleh M Husnaini

sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 13, 2014

Siuman dari Lupa

Telinga kita tentu tidak asing dengan istilah lupa, kondisi tidak ingat keadaan diri atau sekelilingnya. Ada tiga jenis lupa yang dialami manusia. Pertama, lupa hal-hal sepele, seperti lupa makan atau lupa di mana menaruh barang. Lupa jenis ini manusiawi belaka.

Tetapi, ada jenis lupa yang berbahaya. Misalnya, lupa tugas atau tanggung jawab. Dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Tentu yang paling berbahaya dan bahkan mengundang azab Allah ialah lupa jenis ketiga, lupa diri dan agama. Kondisi ini menyebabkan manusia turun derajat dari makhluk mulia ke level paling hina.

Sebagaimana diwartakan Allah dalam Alquran sebagai berikut, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (QS At-Tin [95: 4-5]).

Sungguh mengerikan kita membaca ayat itu. Betapa semakin hari, kita tidak semakin muda. Pertambahan angka umur kita jelas menunjukkan berkurangnya jatah hidup di dunia.
Sebab itu, kita wajib renungkan, adakah nikmat berupa umur ini lebih banyak bermuatan kebaikan atau justru keburukan.

Becermin diri seraya memperbanyak tobat, itulah ajaran yang harus dipraktikkan orang beriman. Introspeksi menjadi sarana mujarab untuk melawan lupa. Sementara, tobat jelas alat pembersih dosa dan kesalahan.

Tobat, menurut ulama, adalah menyadari, menyesali, dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan serupa. Bukanlah tobat jika satu dari ketiga syarat itu hilang.

Tobat pincang itu disebut sebagai tobat sambal alias kapok lombok. Tobat yang diterima Allah, itulah taubatan nasuha, yang berdampak positif dahsyat pada pelakunya.

Menjalani hidup di era serba digital sungguh tidak mudah. Keluarlah rumah, bacalah koran, lihatlah internet. Betapa jebakan kemaksiatan tersebar di segala penjuru arah. Jika kita tidak ekstrawaspada, bukan mustahil akan terseret ke lumpur dosa.
Karena itu, kita harus mampu memelihara kepekaan dan sensitivitas nurani. Tidak kalah penting, untuk terus berusaha memahami dan mengamalkan doa yang setiap shalat kita baca,” Ya Allah, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.”

Lupa muncul karena manusia sembrono dalam mengeja kehidupan. Hatinya tidak terjaga sehingga menjadi gelap. Hati yang gelap disebut zulmun (kezaliman) dan pelakunya bernama zalim.

Idenya ialah setiap kebusukan dapat membuat hati manusia menjadi gelap dan mudah lupa. Indikasinya, tidak pernah merasa risih ketika berbuat dosa dan kesalahan. Kejahatan dianggap sebagai kebajikan, perusakan diakui sebagai perbaikan, karena selalu dihisasi setan.

Dalam kondisi demikian, hati tidak lagi nurani tetapi sudah zulmani. “Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? “Maka sungguh Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.” (QS Fathir [35: 8]).

Tidak susah mendapati sosok-sosok manusia berhati zulmani. Tengoklah para bramacorah negeri ini: pemimpin korup, hakim khianat, politikus busuk, pengusaha licik.
Mereka potret terang penjahat-penjahat kemanusiaan sejati. Dunia ini terbukti babak belur di tangan sekumpulan manusia berhati zulmani itu.

Pantaslah jika Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan peringatan keras kepada mereka. “Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi [18: 103-104]).
, Oleh: M Husnaini
sumber : www.republika.co.id

Wednesday, March 12, 2014

Berpikir

Diceritakan dari buku tafsir milik Ibnu Katsir, seorang sahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas mengisahkan, suatu hari datang beberapa orang Quraisy kepada kaum Yahudi dan bertanya,’’Apa yang dibawa Nabi Musa  kepada kalian (mukjizat)?”

Mereka menjawab,’’Tongkatnya serta tangannya yang putih bersinar bagi yang melihat.’’ Lalu mereka mendatangi kaum Nasrani dan bertanya,”Apa yang dibawa Nabi Isa kepada kalian (mukjizat)?’’
Mereka kemudian menjawab, ”Ia mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan mampu menghidupkan orang mati.’’

Lalu merekapun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, ”Mintakanlah kepada Tuhanmu supaya Ia mengubah Bukit Shafa menjadi emas.” Nabi Muhammad berdoa kepada Allah akan hal tersebut.

Maka turunlah ayat yang berbunyi, ”Sesungguhnya pada penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi para ulil albab.’’ (QS Ali Imran :190).

Apa maksud diturunkannya ayat ini? Siapa itu ulul albab? Memang sebagai manusia terkadang kita hanya ingin sesuatu yang jelas, nyata, dan praktis. Seperti kafir Quraisy yang meminta  Nabi supaya Allah mengubah Bukit Shafa menjadi bukit emas.

Namun Allah memberikan kunci dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di dunia ini bagi manusia. Yaitu dengan menjadi ulul albab, yaitu manusia berpikir, yang menggunakan otak serta hatinya dalam memahami tanda kekuasaan-Nya.

Ada sebuah syair Arab terkenal yang berbunyi, ”Apabila manusia memikirkan segala kelakuannya, maka ia akan menyadari pelajaran di dalamnya.’’

Andai saja manusia menyempatkan waktunya untuk berpikir, memikirkan hakikat penciptaan dirinya, dunia seisinya seperti yang sudah dicontohkan di atas yaitu penciptaan langit dan bumi betapa dahsyatnya penciptaan itu.

Lalu pergantian siang dan malam, kenapa matahari selalu terbit dari timur, adakah manusia yang mampu menerbitkannya dari barat?

Nabi Isa pernah berkata, “Alangkah baiknya orang yang di setiap perkataannya untuk berzikir, diamnya untuk berpikir, dan penglihatannya untuk belajar.’’

Pernahkah Anda membayangkan,  ada manusia yang setiap kata dari mulutnya selalu digunakan untuk berzikir, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk mengingatkan orang lain, bahkan diamnya pun berguna untuk berpikir?

Orang yang mampu melakukan ini akan menjadikan semua penglihatan dan panca indra lainnya sebagai hikmah dan pelajaran. Jadi, mari saudaraku, kita sempatkan waktu kosong kita atau saat kita diam untuk sejenak berpikir.

Karena, inilah kunci yang dimaksud untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah selama di dunia dan merupakan pembeda antara kita para Mukmin dan mereka para kaum kafir yang keras kepala dalam menerima bukti-bukti yang datang pada mereka.

Jika sudah, ada satu pesan bagi ikhwah sekalian, ubahlah kata seandainya menjadi semoga diiringi dengan niat yang tulus serta kerja keras niscaya kita akan melihat betapa indahnya dunia ini. Wallahu a’lam.
Oleh Riza Rahman
sumber : www.republika.co.id

Monday, March 10, 2014

Sugih Tanpa Bondo

Ada pepatah Jawa berbunyi sugih tanpa bondo. Saya kurang memahami maksud sebenarnya dari pepatah ini. Sedikit yang saya pahami, tetapi mengalaminya. Saya sering mengatakan, jangan mengandalkan uang. Kasihan sekali orang susah, orang miskin kalau apa-apa harus disinggung masalah uang. Nanti mereka semakin susah.

Penyedia terbaik, ya Allah. Pemberi rizki terbaik, ya Allah. Rumah, apa harus beli? Apa harus menyewa? Apa harus menyicil? Banyak sekali orang yang tidak mengeluarkan uang sama sekali, tetapi mempunyai rumah. Seorang kawan membeli satu buah vila. Kesepakatan harga vila tersebut sekitar Rp 700 juta. Dari awal negosiasi harga kawan saya tersebut dengan penunggu vila.

Ketika penunggu vila itu ditanya sama calon pembeli ini, mana yang mempunyai vila dan ia berkeinginan berbicara serta bernegosiasi harga dengan si empunya vila, si penunggu vila selalu menjawab, “Sama saya saja.” Dia menambahkan, cukup berhubungan dengan dirinya. Karena, semua persoalan telah diserahkan kepada dirinya.

Akhirnya, negosiasi berlangsung antara calon pembeli dengan penunggu vila, bukan pemiliknya. Pada mulanya, kawan yang merupakan calon pembeli itu merasa aneh. Jangan-jangan ini tidak benar. Tapi kenyataannya, surat rumah yang asli dipegang oleh penunggu vila. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan harga, yaitu sekitar Rp 700 juta.

Kemudian, datanglah pemilik vila untuk melakukan proses tanda tangan jual beli. Itu pun yang datang adalah anak si pemilik karena pemilik vila ternyata sudah meninggal dunia. Si calon pembeli yang dihinggapi rasa penasaran bertanya kepada anak si pemilik vila berapa sebenarnya harga yang disampaikan pemilik vila.

Anak tersebut menjawab, berapa pun harga yang ditetapkan itu terserah beliau. Beliau yang ia maksud adalah penunggu vila. Lalu, bingunglah calon pembeli ini. Ia bertanya kepada diri sendiri, kok bisa almarhum begitu percaya kepada penunggu vilanya. Anak itu tersenyum, lalu menjelaskan, “Sudah ada wasiat dari almarhum bahwa vila ini diserahkan kepada si penunggu. Ini buat dia.”

Rupanya, almarhum pembeli rumah pertama, kemudian disulap menjadi vila. Almarhum membeli vila tersebut sekitar 25 tahun yang lalu. Menurut penunggu vila, 25 tahun lalu pemilik masih muda. Ia mengatakan pemilik cuma datang sekali. Setelah itu, ia hanya mengutus orang untuk merenovasi total bangunan yang telah dibelinya.

Setelah renovasi selesai, vila itu diserahkan kepada si penunggu. Ia mendapatkan amanat untuk menjaga dan mengurus vila tersebut. Ia diizinkan untuk tinggal bersama istri dan anaknya, waktu itu masih satu, di vila. Sejak saat sampai wafatnya, pemilik vila tak pernah datang lagi. Hanya anak almarhum yang akhirnya datang. Tujuannya untuk menyerahkan vila kepada si penunggu. Subhanallah.

Saya kebetulan mendampingi kawan saya itu dalam proses negosiasi awal. Kami bertemu dengan bapak penunggu vila yang berada di sekitar Salabintana. Mungkin bapak penunggu ini mempunyai amalan yang kita semua tidak mengetahuinya. Ia menempati vila seperti rumah sendiri karena memang ia diminta menjaganya, tak boleh keluar dari sana. Bahkan, bangunan itu direnovasi total. Jumlah kamar ditambah, dibangun aula, mushala, taman, dan fasilitas lainnya.

Setelah itu, pemilik memberikannya ke bapak penunggu vila. Termasuk, surat-surat rumahnya. Hingga kemudian vila tersebut dijual, uangnya tetap menjadi haknya. Dari cerita ini, bagi siapa yang percaya setiap saat harus butuh uang, ia sungguh merugi. Bagi yang percaya bahwa Allah Mahakuasa, sungguh beruntung dia ini. Wallaahu a’lam.

Apa amalan si bapak penunggu ini kala mudanya dulu? Atau, amalan orang tuanya. Dengar-dengar, dulu waktu ia mau membenahi rumahnya sendiri yang akhirnya berubah menjadi vila, uangnya disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Sampai akhirnya, rumahnya dijual, namun tetap saja akhirnya dimilikinya. Masya Allah.
, Oleh Ustaz Yusuf Mansur

sumber : www.republika.co.id

Sunday, March 09, 2014

Etos Mujahadah

Ijtihad, mujahadah, dan jihad merupakan  tiga pilar kunci kemajuan Islam. Ketiga kata ini memiliki akar yang sama, yaitu j-h-d, yang berarti mengerahkan segala daya upaya untuk mengatasi kesulitan dan permasalahan.

Ijtihad adalah kunci kemajuan pendidikan dan pemikiran intelektual; mujahadah merupakan kunci kemajuan mental dan spiritual; sedangkan jihad merupakan kunci kemajuan ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
   
Kemajuan yang diwujudkan melalui ijtihad dan jihad  harus ditopang oleh etos mujahadah. Karena mujahadah merupakan penggerak sekaligus pengendali dinamika ijtihad dan jihad.

Menurut ar-Raghib al-Asfahani, mujahadah adalah bekerja cerdas, ikhlas dan keras dalam menghadapi musuh yang tampak (kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, agresi militer, dan sebagainya) dan yang tidak tampak (setan dan hawa nafsu) dengan cara mengendalikan dan memenej diri agar senantiasi taat kepada syariat Allah SWT.
    
Mujahadah merupakan penyeimbang antara potensi nalar, potensi fisik, dan potensi hati manusia. Jika manusia hanya mengedepankan kecerdasan intelegensi dan kekuatan fisiknya semata, ia akan kehilangan suara hati nuraninya.

Mujahadah merupakan energi positif untuk membangkitkan nilai-nilai spiritualitas yang ada di dalam dirinya, seperti: ketulusan, kesabaran, kebersamaan, kelemah-lembutan, kasih sayang, memaafkan, dan sebagainya.

Pada saat yang sama, ia juga berusaha melebur watak negatifnya, seperti: buruk sangka, tamak, hasad, malas, dendam, dan sebagainya. Hakekat mujahadah adalah pendewasaan diri dalam bertutur kata, bersikap, dan berbuat.

Kunci pendewasaan diri adalah pengendalian fungsi hati agar tidak mudah dijajah hawa nafsu dan setan. Dengan kata lain, pendewasaan diri adalah pembebasan diri dari hawa nafsu yang pada umumnya menjerumuskan manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati Allah (QS. Yusuf/12: 53).
    
Dalam syair Arab dinyatakan, Nafsu itu seperti bayi. Jika diabaikan (tidak disapih), maka dia akan menyusu (kepada ibunya) terus-menerus. Tapi jika disapih, maka ia akan mandiri (tidak terus menyusu).

Mujahadah  ibarat mendewasakan anak. Anak akan tumbuh kembang dan menjadi dewasa jika terlebih dahulu disapih, dibiasakan mandiri, dan dididik dengan sebaik-baiknya, termasuk dibiasakan melihat kekurangan diri sendiri, agar tidak sibuk mengurusi aib orang lain.
   
Dengan mujahadah, seorang Muslim tidak hanya menjaga dirinya agar tidak larut dalam perangkap hawa nafsu dan godaan setan, tetapi juga mampu memberi rasa aman dan kedamaian bagi orang lain.

"Tahukah kalian, siapa yang disebut Mukmin? Pertanyaan Nabi SAW ini dijawab sendiri: "Yang disebut  Mukmin adalah orang yang membuat harta dan jiwa orang lain aman. Sedangkan Muslim adalah orang yang membuat orang lain selamat dari perkataan dan perbuatannya.
Orang yang bermujahadah adalah orang yang senantiasa berjuang dalam ketaatan kepada Allah. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa." (HR al-Bukhari)
    
Menurut al-Qusyairi, kiat-kiat mujahadah yang dapat mengantarkan Muslim kepada jalan pendakian menuju kedekatan diri dengan Allah (taqarrub ila Allah) sedekat-dekatnya harus dilalui dengan tazkiyatun nafsi (penyucian diri) melalui taubat dan istighfar, iltija (memohon perlindungan) kepada Allah melalui shalat dan zikir, muhasabah (introspeksi diri) dengan menyadari kekurangan dan meningkatkan amal kebajikan, dan berpikir positif agar dapat memecahkan berbagai persoalan secara arif bijaksana.
   
Mujahadah merupakan salah satu manifestasi dari kecerdasan romantis, sebuah perjuangan menggapai rasa cinta dan intim dengan Tuhan melalui optimalisasi segala bentuk ketaatan, dan menjauhi segala macam kemaksiatan.

Dengan mujahadah, Muslim pasti berusaha menapaki jalan Tuhan yang mengantarkannya kepada kebahagiaan hakiki, surga. “Dan orang-orang yang berjihad, bermujahadah untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut/29: 69).
, Oleh Muhbib Abdul Wahab    
sumber : www.republika.co.id

Saturday, March 08, 2014

Panggilan Nakhoda

Tak kurang-kurang Allah SWT memaparkan iktibar di depan kita. Betapa banyak, seseorang yang kemarin sangat kaya bergelimang harta, hari ini mendadak miskin. Bahkan seseorang tampak sehat dan kuat di pagi hari, tiba-tiba sakit dan lemah lunglai di sore hari.

Lantas mengakhiri kehidupannya yang fana karena saat itu dijemput malaikat maut untuk memasuki kehidupan barunya di alam barzah, suatu alam transito menuju alam akhirat.

Pekerjaan mengumpulkan harta kekayaan yang kita lakukan selama sehat dan kuat telah meningkatkan harkat dan martabat kita menjadi orang sukses atau setidaknya di atas rata-rata kebanyakan orang di sekeliling kita.

Tetapi, kesuksesan itu sedikit demi sedikit merenggangkan kedekatan kita kepada Allah SWT. Kita lupa, segala yang kita miliki, termasuk roh kita, sejatinya hanyalah titipan Allah dan kapan saja Allah berhak mengambilnya.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sesungguhnya dia akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan iktibar. Perjalanan manusia itu ibarat penumpang sedang diajak berlayar sang nakhoda menuju pulau harapan. Lalu, di tengah perjalanan diajak sang nakhoda mampir di sebuah pulau kecil nan indah.

Sang nakhoda mengumumkan kepada seluruh penumpang kapal, “Para penumpang dipersilakan mampir sebentar di pulau kecil itu, tapi bergegaslah naik di kapal kembali apabila sewaktu-waktu aku memanggil kalian.

Beramai-ramailah penumpang turun ke pulau itu. Namun, mereka ternyata terbagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama, begitu menginjakkan kaki di pulau itu, mereka hanya mengambil barang seperlunya, lalu naik ke kapal kembali.

Kelompok ini sedikit sekali. Mereka takut ketinggalan kapal. Kelompok kedua begitu menginjakkan kaki di pulau, mereka berramai-ramai mengambil manfaat dengan bermacam-macam kegiatan dan pekerjaan.

Tetapi selama mereka sibuk, mereka tetap nguping barangkali sang nakhoda memanggilnya sehingga mereka tidak akan ketinggalan kapal. Kelompok kedua ini lebih banyak daripada kelompok pertama.

Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok yang paling banyak daripada kelompok pertama dan kedua. Setelah mereka turun di pulau itu, mereka terpukau dengan keindahan dan kelezatan yang ada di dalamnya.

Dengan gegap gempita mereka mengambil manfaat itu dengan terus bekerja dan bekerja. Bahkan ada yang dengan segala cara mereka ingin menguasainya hingga mereka terlena dan lupa pesan sang nakhoda, padahal nakhoda telah memanggilnya.

Kelompok ketiga terus bersaing satu sama lain, sampai-sampai pulau itu terasa sempit bagi mereka dan nyaris habis kandungannya karena diperebutkan sesama mereka. Akhirnya, kelompok yang terbanyak ini pun ketinggalan kapal.

Kelompok pertama merupakan orang-orang beriman dan saleh yang ingin segera  terhindar dari kehidupan duniawi yang penuh dosa ini. Mereka ingin segera bertemu dengan Tuhannya. Mereka adalah orang-orang wara, zuhud, dan ikhlas.

Kelompok kedua adalah orang-orang beriman, namun mereka belum siap mati karena ingin memperbaiki amal perbuatannya untuk akhiratnya. Mereka terus mengejar dunia, tetapi terus pula beramal saleh dengan hartanya. Bahkan, hartanya yang melimpah itu didedikasikan untuk agama Allah semata.

Kelompok ketiga merupakan orang-orang yang sangat mencintai dunia atau kelompok materialisme. Mereka beranggapan manusia paling mulia adalah yang berkuasa dan kaya harta.

Dari kisah iktibar di atas, Al-Ghazali berpesan agar dalam posisi dan kerja apa pun, semestinya kita selalu ingat mati.
Ini menghindarkan kita dari keserakahan dan cinta dunia. Ingat mati mendorong kita berada pada jalan yang lurus dan akan mendekatkan diri kita kembali Allah SWT.
, Oleh: Masrum Muhammad Noor

sumber : www.republika.co.id

Friday, March 07, 2014

Dua Pelajaran selalu berbuat untuk orang lain, dan memikirkan orang lain

Sedikitnya ada dua pelajaran yang minimal bisa kita petik dari Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu berbuat untuk orang lain, dan memikirkan orang lain. Bahkan dalam berdoa pun, doanya selalu menyebutkan untuk orang lain.

Rasulullah SAW hampir tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ada moment di saat beliau hanya berdoa dengan Allah, pencipta alam jagat raya ini. Hanya beliau berdua dengan Allah.

Attahiyyatul mubarakatus shalawatut thayyibatu lillah. Rasul memberikan salam dan pengagungan kepada Allah SWT. Dan salam ini dijawab Allah SWT. Assalamu'alaika ayyuhan nabbiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh. Keselamatan juga buat engkau wahai Muhammad.

Kemudian, Rasulullah SAW menjawab, Assalamu'alaina wa 'ala 'ibadillahis shalihin. Salam (keselamatan) juga untuk kami dan hamba-hamba-Mu yang saleh. Beliau menjawab dengan memakai dhamir nahnu (kami), untuk orang sebanyak-banyaknya. Masya Allah.

Kita mengenal Rasulullah SAW melalui sejarah. Dan saat menjelang wafatnya, malaikat Izrail turun bersama Malaikat Jibril atas perintah Allah di Baitul Ma'mur, untuk menjemput Nabi Muhammad SAW.

Sebelumnya, Allah telah berpesan kepada kedua malaikat tersebut, "Andai Muhammad menolak untuk dicabut nyawanya, hendaknya kalian kembali."

Mereka pun turun, dari Baitul Ma'mur hingga ke langit dunia. Jibril mempersilakan Izrail untuk menemui Rasulullah SAW.
"Kenapa engkau tidak menemaniku, wahai jibril?" kata Izrail. Jibril menjawab, "Aku tak tega melihat engkau mencabut nyawa orang yang aku cintai."

Hal ini ternyata diketahui Rasulullah SAW. Momentum ini dijadikan Rasul untuk menunjukkan kebesaran hati dan jiwanya, untuk kita semua, umatnya ini. Izrail melanjutkan perjalanannya hingga tiba di kamar Rasulullah SAW.

Setelah Izrail memberi salam dan Rasul menjawab salam Izrail, Rasul bertanya: "Aina Jibril?" Di mana jibril?" Izrail menjawab, jibril menunggu di langit pertama. Rasul meminta Jibril datang kepadanya sebelum nyawa beliau dicabut.

Wahai pembaca Republika yang dirahmati Allah. Sepintas ada maksud dari Rasulullah SAW. Beliau menunda sebentar waktu kematiannya sebelum bertemu Jibril. Beliau tidak memikirkan dirinya, anaknya, istrinya, keluarga, dan harta bendanya. Tidak.

Beliau justru memikirkan kita umatnya. Itulah yang beliau sampaikan kepada Jibril. "Wahai Jibril, telah tiba kematianku. Bagaimana nasib umatku sepeninggalku nanti?"

Allahu akbar, yang ditanyakan Rasulullah adalah kita, umatnya. Kalau Yusuf Mansur mengaku umatnya nabi, Yusuf Mansur yang ditanyakan Nabi, bagaimana Yusuf Mansur sepeninggal beliau?

Kalau Syahruddin, Irwan kelana, Damanhuri dan semua pembaca serta keluarga besar Republika mengaku umat Nabi Muhammad SAW, maka kita semua yang ditanyakan nabi kepada Jibril, bagaimana nasib kita sepeninggal beliau nanti?

Inilah yang menjadi konsentrasi Rasulullah SAW tentang umatnya. Jibril menjawab, hanya Allah yang mengetahuinya.
Lalu Jibril bersegera menghadap Allah menyampaikan pertanyaan Rasulullah SAW. Setelah mendapatkan jawaban, Jibril kembali menemui Rasul.
Jibril menyampaikan, umatnya akan baik-baik saja. Tidak akan tersesat, tidak akan jadi orang yang merugi, jika mereka selalu berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.
Setelah mendengar hal itu, legalah hati Rasulullah SAW. Beliau mempersilaka Izrail untuk mencabut nyawanya. Perhatikan dialog beliau selanjutnya.

Ketika beliau menanyakan tentang umatnya saat akan dibangkitkan di hari kiamat. Insya Allah, tak ada satu pun manusia yang dibangkitkan sebelum Nabi Muhammad. Dan tak ada umat yanng akan dibangkitkan sebelum umat Nabi Muhammad SAW.

Diutus empat malaikat untuk membangkitkan beliau. Jibril, Mikail, Israfl, dan Izrail. Mereka saling tunjuk untuk mendapat kehormatan membangkitkan nabi. Akhirnya dipilihlah Jibril.

Pada saat Nabi Muhammad SAW dibangkitkan, pertanyaan pertama yang disampaikan adalah umatnya. Wahai Jibril, ini hari apa? Jibril menjawab, inilah hari ketika pintu surga dibuka, dan malaikat Ridwan menghiasi surga untuk menjemput engkau dan umatmu dari hamba-hamba yang saleh. Dan pintu neraka akan dibuka untuk orang-orang yang durhaka dan tersesat.

Rasul kemudian bertanya, bagaimana umatnya dan di mana mereka? Alhammdulillah, Allah SWT memberikan kehormatan kepada Rasulullah SAW untuk memberikan syafaat kepada umatnya.

Bahkan, karena keistimewaan ini pula, para nabi memerintahkan umatnya untuk menemui Nabi Muhammad SAW. Maka beruntunglah kita yang menjadi umat Nabi Muhammad SAW.

Dalam setiap kesempatan, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita, untuk senantiasa membaca Alquran, bershalawat, zikir, dan berbuat bukan hanya untuk diri pribadi tapi juga buat orang lain.

Inilah yang harus kita gelorakan dalam rangka menyambut dan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Manusia yang agung dan paling dicintai Allah SWT. Tidak disebut nama Allah kecuali digandeng dengan namanya.

Belum sempurna kalimat la ilaha illallah kecuali digandeng dengan Muhammadar Rasulullah. Semoga kita mewarisi sifat Nabi juga. Senantiasa berzikir dan berbuat untuk orang lain.

Dalam doa-doa kita pun, mari kita doakan orang lain, sebagaimana pesan Rasul SAW. Dalam harta juga begitu, karena di sana ada hak orang lain. Selamat menyambut dan memperingati maulid Nabi SAW. Semoga kita mendapat syafaatnya. Amiin. Salam., Oleh: Ustaz Yusuf Mansur


sumber : www.republika.co.id

Thursday, March 06, 2014

Menyertakan Asma Allah

Salah satu hadis sahih masyhur di kalangan ulama penulis kitab yang selalu menjadi pembuka tulisannya adalah hadis berbunyi  “kullu amrin dzii baalin laa yubdau bi bismillah fahua abtar au aqtha”, Segala urusan penting yang tidak diawali bismillah tidak atau kurang keberkahannya.

Mungkin inilah salah satu rahasia utamanya, di samping yang lainnya, kitab-kitab klasik karya para ulama salafus salih walaupun ditulis ratusan tahun yang lalu, tetap dianggap aktual dan menarik untuk dipelajari.

Kitab fikih Al Um sebagai salah satu contoh karya Imam Syafi"i (wafat 204 H) yang sudah berusia kurang lebih 1.200 tahun tetap dijadikan salah satu rujukan utama dalam menjawab berbagai persoalan fiqhiyyah masa kini.

Di samping itu, memang kitab-kitab fikih klasik tersebut pantas dijadikan rujukan karena isinya sangat prospektif, melampaui zaman dan waktu ketika buku tersebut ditulis. 

Menyertakan asma Allah, bagi kaum Muslimin merupakan suatu keniscayaan sekaligus kebutuhan. Baik pada pekerjaan rutin dan personal, seperti makan, minum, berpakaian, tidur, bangun tidur, terlebih lagi pada kegiatan yang diharapkan memiliki makna strategis untuk kepentingan bersama dalam skala lebih luas.

Seperti tersebut di atas, menulis buku dan karya ilmiah. Selain itu, memimpin rapat untuk membahas dan membicarakan masalah pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan politik yang berkaitan dengan kepentingan bersama.

Apalagi para pejabat publik, seperti pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif yang keputusannya berkaitan dengan nasib seseorang atau suatu bangsa, tentu menyertakan asma Allah pada setiap kata yang diucapkannya atau setiap ketukan palunya merupakan sesuatu hal yang sangat penting, strategis, dan menentukan.

Ada beberapa hal strategis dan fundamental mengapa kita sangat dianjurkan menyertakan asma Allah pada setiap kegiatan yang dilakukan. 

Pertama, memotivasi sekaligus mendorong agar perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan baik dan benar, tidak melanggar ketentuan-Nya, tidak mengharamkan yang halal, atau sebaliknya.

Menyertakan asma Allah bukanlah sekadar formalitas supaya kelihatan nuansa religiusnya, tetapi lebih substansial agar semua perilaku kita merupakan refleksi dan manifestasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.

Dengan menyertakan asma Allah, seperti mengucapkan bismillah, sesungguhnya kita sedang menarik kegiatan yang kita lakukan pada nilai-nilai tauhid sekaligus menghilangkan sekularisasi dan dikotomi antara agama dan bukan agama, antara dunia dan akhirat.

Kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Semuanya harus benar, baik, dan sesuai dengan ketentuan-Nya, serta semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya (QS az-Zalzalah [99] : 8).

Kedua, menggambarkan doa agar Allah menguatkan niat dan motivasi kita sekaligus memudahkan segala urusan. Basmalah, hamdalah, insya Allah, atau kalimat lainnya menggambarkan kerendahan hati bahwa manusia boleh merencanakan, tetapi Allah yang menentukan.

Sehingga, ketika berhasil dan hasilnya sesuai dengan harapan, tidak akan melahirkan kesombongan. Apabila belum berhasil, tidak akan menyebabkan frustrasi atau putus asa. Dan, inilah makna hakiki dari tawakal kepada Allah. Wallaahu"alam bish shawab.
, Oleh: KH Didin Hafidhuddin

sumber : www.republika.co.id

Wednesday, March 05, 2014

Budaya Baca dan Tulis

Sungguh sangat menarik sekali, pernyataan Syaikh Yusuf Qardlawi dalam  bukunya Ilmu Dalam Perspektif Sunnah. Jika Anda membaca dan membolak balik berbagai kitab suci berbagai agama, Anda tidak akan banyak menemukan dan mendapatkan teks-teks yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Tetapi begitu Anda membaca Alquran, kitab suci kaum muslimin, Anda akan menemukan dan mendapatkan ratusan ayat yang berkaitan dengannya.
Demikian pula dalam sunnah Rasululullah saw,  terdapat berbagai petunjuk yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan ilmu pengetahuan.
     
Bayangkan oleh kita semua, kaum muslimin, wahyu pertama yang diterima Rasululllah SAW yang jumlahnya lima ayat (Surat Al Alaq ayat 1 sd 5) terdapat enam (6) kata yang berkaitan secara langsung dengan ilmu pengetahuan. Yaitu iqra (dua kali), 'allama (dua kali), bil qalam (satu kali) dan maa lam ya'lam (satu kali). 

Ini mmenunjukkan betapa ajaran Islam mendorong umatnya untuk mencintai dan menguasai ilmu pengetahuan. Di mana dan kapan pun umat Islam berada, di situ ilmu pengetahuan dikembangkan. 

Bahkan Nabi SAW (Hadits Sahih) menyatakan secara tegas berangkatlah Anda setiap pagi untuk menjadi pengajar dan memberikan ilmu atau pencari dan penuntut ilmu atau pencinta ilmu atau pendengar ilmu. Dan jangan menjadi kelompok kelima, yang tidak masuk salah satu kelompok itu.
    
Ternyata ilmu pengetahuan yang benar yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah, kemudian diwujudkan dalam perilaku keseharian yang benar, dalam semua dimensi kehidupan, akan menghantarkan pada keselamatan dan kejayaan umat.

Dan itu terbukti secara empirik dalam sejarah. Umat Islam mampu membangun peradaban tinggi, indah dan mulia sekaligus peradaban yang memanusiakan manusia, menjadi contoh dan panutan bagi umat lainnya.

Untuk menjadi umat dan generasi pencinta, penguasa dan pengamal ilmu, yang berujung pada lahirnya kembali peradaban Islam, ada dua kegiatan yang harus selalu dilakukan umat Islam, terutama generasi mudanya, yaitu membaca dan menulis.

Apabila dua kegiatan ini melekat dan membudaya pada struktur berfikir dan struktur rohani umat Islam, tidak akan ada lagi umat bodoh, yang terjerembab pada lumpur kehidupan yang tidak Islami.
    
Semoga Islamic Book Fair (IBF) yang tahun ini berlangsung 28 Februari hingga 9 Maret 2014 memberikan inspirasi sekaligus mendorong kaum muslimin untuk menjadikan membaca dan menulis sebagai sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan. Wallahu 'Alam bi Ash Shawab
, Oleh : KH Didin Hafidhuddin
sumber : www.republika.co.id

Tuesday, March 04, 2014

Kepatuhan pada Syariah

Kata syariah yang melekat pada kegiatan ekonomi sehingga menjadi ekonomi syariah atau pada lembaga keuangan sehingga menjadi lembaga keuangan syariah seperti bank, asuransi, pegadaian, dan lembaga keuangan syariah lainnya baik bank maupun nonbank, sesungguhnya bukan sekadar tempelan, mode, atau ikut-ikutan.

Namun, lebih jauh dan lebih dalam mengandung semangat, cita cita luhur, dan keinginan kuat dari semua pemangku kepentingan, seperti pemegang saham. Komisaris, direksi, dewan pengawas syariah  maupun masyarakat.

Tujuannya agar semua kegiatan, transaksi, dan para pegawainya menjadikan syariah sebagai landasan dan bingkai dari semua aktivitasnya. Bukan saja berkaitan dengan akad tetapi juga rohnya, bahkan perilakunya sesuai ketentuan syariah.

Seperti tergambar dalam Alquran dan hadis maupun pendapat para ulama muktabar. Roh syariah yang dimaksud adalah maqasidus syariah, seperti keadilan, keberpihakan pada kebenaran, transparansi dan keterbukaan, serta tanggung jawab.

Salah satu hal penting untuk selalu harus dikaitkan dengan kepatuhan pada syariah  adalah corporate culture atau budaya kerja. Artinya etos kerja dan etika kerja yang dibingkai akhlak islam  harus menjadi ciri utama lembaga keuangan syariah.

Selain bekerja untuk mencari nafkah untuk kepentingan diri dan keluarganya, para karyawan lembaga keuangan syariah merupakan mujahid di bidang ekonomi syariah.

Cara berpakaian harus Islami, melayani nasabah harus Islami, setiap ada janji harus berusaha untuk ditepati, terlebih lagi keamanahan dan kejujuran harus betul-betul dijaga.

Betapa pentingnya keamanahan dan kejujuran ini sehingga Rasulullah SAW mengaitkan antara iman dengan sifat amanah. Beliau bersabda ‘’Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mau menepati janji.’’

Sebab, jika terjadi penghianatan atau ketidakjujuran, yang dirugikan bukan semata-mata individu atau lembaga yang bersangkutan, juga lembaga keuangan syariah secara lebih luas. Karena itu Allah SWT melarang keras perilaku khianat ini.

Allah berfirman dalam surah Al-Anfaal ayat 27 ,’’ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula mengkhianati amanah-amanah kamu sekalian, padahal kamu sekalian mengetahuinya.’

Agar budaya kerja syariah ini bisa  dilaksanakan konsisten, harus ada langkah strategis dan berkesinambungan yang dilakukan pimpinan dan para karyawan lembaga keuangan syariah. 

Pertama, memberi nasihat, koreksi sekaligus menegur setiap ada indikasi pelanggaran. Mekanisme tausiyah dengan kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang serta tidak menjatuhkan harus dibudayakan. 

Kedua, membuat petunjuk dan arahan yang jelas tentang mekanisme kerja, siapa mengerjakan apa, dan jadwal waktu yang jelas.
Ketiga, mempertegas adanya reward (penghargaan) bagi yang berprestasi dan punishment (sanksi) bagi yang melakukan pelanggaran.

Keempat, membiasakan doa pagi sebelum memulai pekerjaan disertai tausiyah singkat tentang urgensi kepatuhan pada syariah.
Kelima, mewajibkan zakat dan menganjurkan sedekah  bagi setiap pimpinan dan karyawan, untuk membangun etos dan etika kerja sekaligus keberkahan lembaga serta masyarakat. Wallahu Alam bi Ash Shawab
Oleh  KH Didin Hafidhuddin

sumber : www.republika.co.id

Monday, March 03, 2014

Shalat Berjamaah

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang menjadi pembatas seseorang itu mukmin atau kafir. (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Shalat juga menjadi penentu diterima atau tidaknya amalan seseorang. (HR Abu Daud).

Shalat memberikan banyak manfaat bagi yang istiqamah menjalankannya. Selain itu, shalat memiliki banyak keutamaan, apalagi jika ditunaikan berjamaah. Satu hal yang perlu diketahui, tidak satu pun ulama yang menyatakan shalat berjamaah hukumnya sunah biasa.

Shalat berjamaah adalah sunah muakkadah bagi laki-laki dalam menjalankan shalat lima waktu. Menurut Mazhab Maliki dan Hambali, hukumnya wajib.

Rasulullah bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Sungguh aku sangat ingin menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, lalu menyuruh seseorang supaya menyerukan azan, kemudian menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Sementara itu, aku akan pergi mendatangi orang-orang yang tidak shalat berjamaah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR Bukhari Muslim).

Saking pentingnya shalat berjamaah, selain memiliki 27 derajat (HR Muttafaq Alaih), keutamaan lainnya adalah pertama, mendapatkan naungan Allah.

Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya. (Salah satunya) adalah seseorang yang hatinya selalu terikat dengan masjid.” (HR Bukhari).

Kedua, diampuni dosa-dosanya. “Barang siapa yang berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan menuju shalat wajib dan ia melaksanakannya secara bersama-sama atau berjamaah atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR Muslim).

Ketiga, pahalanya senilai pahala ibadah haji. “Barang siapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci menuju shalat wajib, pahalanya seperti pahala orang beribadah haji.” (HR Abu Dawud).

Keempat, dihormati sebagai tamu Allah. “Barang siapa yang berwudhu di rumahnya, lalu memperbaiki wudhunya, kemudian datang ke masjid maka ia sebagai tamu Allah. Dan, menjadi sebuah keharusan bagi yang dikunjungi untuk menghormati tamu.” (HR Ibnu Abi Syaibah).

Kelima, terlindungi dari kejahatan setan. “Sesungguhnya, setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi kambing yang selalu memangsa kambing yang sendirian dan lalai. Maka, waspadalah kalian dalam tinggal di dusun-dusun (sendirian) dan haruslah kalian berjamaah, bermasyarakat, dan ke masjid.” (HR Ahmad).

Keenam, mendapatkan jaminan surga. “Ada tiga orang yang semuanya dijamin oleh Allah, (salah satunya) seseorang yang pergi ke masjid, ia dijamin oleh Allah ketika Ia mewafatkannya dengan memasukkannya ke surga.” (HR Abu Dawud). Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa istiqamah menjalankan shalat berjamaah. Amin.
Oleh: Imam Nur Suharno

sumber : www.republika.co.id